Sejarah Arkeologi
Bermula dari Kegemaran
Arkeologi lahir dan berkembang di Eropa. Kata arkeologi berasal dari bahasa Yunani archaeos = purbakala dan logos = ilmu, didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia masa lampau melalui peninggalan-peninggalan budaya yang tersisa. Arkeologi bermula dari suatu kegemaran atau hobi untuk memuaskan perasaan di hati seseorang. Lama-kelamaan minat tadi berubah, menjadi tantangan akan kemampuan berpikir.
Benda-benda kuno banyak diminati oleh orang-orang tertentu di Eropa. Apalagi jika benda-benda itu dianggap menarik karena indah, aneh, atau langka. Terlebih yang berasal dari suatu zaman yang disebut-sebut kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Ketika itu benda-benda dari zaman Yunani kuno, Romawi kuno, atau awal dari perkembangan suku bangsa Eropa menjadi barang buruan mereka.
Pada abad ke-15, meskipun tidak merata, kemakmuran di Eropa sudah tinggi. Kemakmuran inilah yang memungkinkan kalangan tertentu mengembangkan kegemaran mengumpulkan benda-benda kuno. Karena ada barang kuno, maka perdagangan benda antik sangat menguntungkan. Mereka disebut antiquarian atau pengumpul benda antik.
Di kalangan tertentu, memiliki barang antik rupanya dianggap gengsi. Maka banyak rumah dibangun dengan arsitektur Yunani atau Romawi. Kalangan intelek pun selalu berdiskusi mengenai benda-benda yang dianggap berbobot. Ketika itu zaman klasik sangat diagung-agungkan oleh kaum intelektual Eropa.
Kesusastraan Yunani juga banyak diminati. Apalagi kesusastraan Yunani ini banyak terselamatkan dalam bentuk terjemahan bahasa Latin. Dengan demikian alam pikiran Yunani cukup dikenal luas oleh cendekiawan Eropa pada masa itu. Demikian pula dengan sejarah Yunani.
Minat dan kecenderungan orang akan hal ini menciptakan iklim yang subur untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Italia, khususnya di pusat perdagangan Venesia dan Genoa. Lingkungan seperti ini kemudian mendorong alam pikiran bangsa Eropa untuk bergerak maju lagi. Maka kemudian timbul Renaissans. Filsafat dan matematika memberi kerangka berpikir untuk lebih mengenal dan mengerti alam lingkungan manusia.
Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Eropa. Berbagai ilmu kemudian berkembang dengan pesat. Di lain pihak, para pedagang Venesia dan Genoa mempunyai naluri bisnis. Mereka pergi ke berbagai tempat, termasuk ke negara-negara non-Eropa. Dari negara-negara yang mereka kunjungi, mereka membawa berbagai kisah dan benda. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak terdapat kebudayaan lain.
Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan kalangan tertentu masih mengagungkan kesusastraan Yunani. Selanjutnya minat yang mula-mula terpusat pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang berada dan terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut kemudian disimpan dalam sebuah lemari yang disebut Cabinet of Curiosity. Pada awalnya hanya kaum tertentu yang dapat menikmati benda-benda tersebut, seperti kerabat pemilik barang antik atau para elit. Pada perkembangan selanjutnya, barang-barang tersebut dipamerkan untuk khalayak umum. Dari situlah muncul benih-benih museum.
Museum sederhana ini didukung dan dikelola oleh perkumpulan orang terpelajar. Secara berkala mereka bertemu untuk mendiskusikan benda-benda tersebut. Mereka selalu menghubungkannya dengan kisah-kisah dari kesusastraan Yunani dan Romawi.
Sumber Kitab Injil
Beberapa cendekiawan berusaha menyusun kisah-kisah tentang masa lampau itu, meskipun uraiannya masih terbatas. Keadaan yang tidak disebut dalam kesusastraan Yunani dan Romawi, tidak digarap. Baru kemudian mereka menggunakan sumber lain, kitab Injil.
Pada zaman ini pengumpul barang kuno yang melayani kebutuhan para kolektor memang amat berperan. Ini karena mereka sering bepergian ke luar negeri untuk mencari barang-barang yang menarik. Di luar itu sekelompok cendekiawan di masing-masing negara, berupaya memperluas pengetahuan mengenai bangsanya sendiri.
Namun karena sumber pengetahuan mereka masih terbatas, kesimpulannya masih sangat samar-samar dan mirip dongeng. Bahkan mereka melakukan ekskavasi, bukan dengan tujuan dalam arti ilmiah, melainkan sekadar memperoleh benda-benda untuk koleksi.
Di dalam kesusastraan Yunani sesungguhnya ada petunjuk dan catatan yang dapat menjadi dasar yang luas akan masa lampau. Namun catatan-catatan itu sangat singkat, tidak tampak penting, dan tersebar pada berbagai sumber. Karena itu sumber-sumber tersebut banyak diabaikan.
Dalam catatan sejarah orang Athena abad ke-5 disinggung adanya bangsa dan kebudayaan di tempat tersebut sebelum zaman mereka. Ada juga catatan perjalanan orang Yunani yang mengisahkan tentang bangsa lain yang tingkat peradabannya dianggap lebih rendah. Orang Yunani sendiri rupa-rupanya juga tidak melihat dari perjalanan mereka adanya kenyataan bahwa kebudayaan itu tumbuh dari sederhana menjadi lebih maju.
“Gigi Halilintar” dan Fosil
Kesadaran bahwa kebudayaan tumbuh melalui berbagai tahap baru ada di Eropa pada abad ke-18. Saat itu muncul pula ilmu-ilmu lain untuk membantu pengertian akan masa lampau.
Arkeologi lahir bersamaan di beberapa negara Eropa. Pada mulanya masing-masing ilmu arkeologi tidak saling berhubungan. Beberapa peristiwa besar tercatat di Eropa sejak berkembangnya ilmu arkeologi. Di Prancis, misalnya, sejak lama ditemukan kepingan-kepingan batu dengan bentuk khusus di dalam tanah dan permukaan tanah. Orang awam menyebutnya ’gigi halilintar’. Mereka menghubungkannya dengan makhluk halus.
Pada lapisan yang sama ditemukan pula tulang-tulang yang telah membatu (fosil). Karena belum diketahui metode untuk menghitung umur lapisan tanah, maka umur temuan itu tidak dapat diduga. Umur lapisan tanah baru diketahui setelah muncul ilmu geologi modern.
Pada pertengahan abad ke-19 muncul seorang ahli geologi Inggris Sir Charles Lyell yang mengajukan pendapat tentang temuan itu secara ilmiah. Dia membantah paham yang mengatakan bahwa kulit bumi terbentuk karena air bah sebagaimana kitab Injil. Sebaliknya dia mengajukan paham bahwa pembentukan kulit bumi terjadi karena pelapukan. Terjadinya lapisan-lapisan itu disebabkan perubahan daratan, lautan, dan aliran sungai.
Pada mulanya ilmu arkeologi belum dapat memanfaatkan sumbangan ilmu geologi. Di pihak lain temuan-temuan batu dengan bentuk khusus mulai menarik perhatian. Orang mulai yakin bahwa batu itu adalah alat yang dibuat oleh manusia.
Sistem Tiga Zaman
Setelah menerima teori Lyell, maka orang memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa manusia sudah ada di zaman yang jauh di masa lampau. Zaman itu telah tertimbun di dalam tanah dan membentuk lapisan tanah tertentu di lapisan bumi. Jika umur lapisan itu dapat dihitung, maka zaman ketika manusia purbakala itu hidup dapat diketahui.
Konsepsi-konsepsi yang timbul di Eropa itu mula-mula mengambil dasar yang sederhana. Tujuan utamanya memberikan arti yang kultur-historis kepada benda-benda arkeologi. Data arkeologis yang terjangkau, kemudian dipelajari dan diolah sedemikian rupa sehingga memperoleh model yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sejak itu banyak pakar berusaha menciptakan teori-teori arkeologi. Salah satu teori yang dikenal luas hingga kini adalah teori ”Sistem Tiga Zaman’ yang diajukan Christian Jurgensen Thomsen dari Denmark.
Teori ini berprinsip di masa lampau telah ada perkembangan waktu berdasarkan urutan waktu tertentu. Uraian ini dilihat dari bahan-bahan utama yang digunakan untuk membuat alat-alat yang dipakai manusia masa lampau demi melangsungkan hidupnya. Maka lahirlah istilah zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi. Zaman batu adalah zaman yang tertua. Yang lebih muda zaman perunggu, sementara yang paling muda zaman besi.
Sistem yang digunakan Thomsen merupakan sumbangan yang utama bagi ilmu arkeologi. Sistem ini menjadi alat untuk mengklasifikasikan benda-benda arkeologi. Sistem tiga zaman juga dianggap sebuah model teknologi karena memperhatikan perkembangan teknik pembuatan alat-alat kerja manusia.
Kolektor dari Eropa
Pada abad ke-17, jauh sebelum ilmu arkeologi berkembang dan benda-benda arkeologi menjadi objek penelitian, pengumpulan benda-benda arkeologi banyak dilakukan para kolektor dari Eropa. Benda-benda yang dianggap unik, mereka bawa dan simpan di suatu tempat. Ketika itu G.E. Rumphius (1628-1702), seorang naturalis Jerman, tidak hanya tertarik pada dunia flora dan fauna di Nusantara. Dia pun mengumpulkan berbagai benda prasejarah. Rumphius sering menghadiahkan benda-benda prasejarah kepada para pejabat kolonial. Dia pun banyak menulis tentang benda-benda prasejarah yang dikoleksinya. Sayang, catatan Rumphius kurang lengkap sehingga menyulitkan pengidentifikasian asal-usul benda.
Rumphius hanya salah seorang dari sekian banyak peminat kebudayaan Nusantara. Pada awalnya kegiatan mengumpulkan benda-benda unik dan menarik itu bersifat individu. Barulah kemudian kegiatan tersebut bersifat kelompok, sehingga penanganan benda menjadi lebih terarah. Upaya para ilmuwan dan peminat seni dimulai dengan mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional) pada 1778. Lembaga inilah yang memelopori penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, penggalian, dan pemugaran terhadap bangunan dan artefak kuno. Kegiatan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen didukung oleh lembaga swasta yang didirikan pada 1885, yaitu Archaeologische Vereeniging pimpinan Ir. JW Ijzerman.
Raden Saleh
Banyak orang lebih mengenal Raden Saleh sebagai pelukis terkenal. Namun sesungguhnya Raden Saleh juga bergerak di bidang ilmiah. Ketika pada 1851 di Delft (Belanda), berdiri KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde = Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Ilmu Bangsa-bangsa), Raden Saleh menjadi anggota pertama dan anggota donor.
Pada 1865 Raden Saleh mengajukan permohonan izin dan dukungan dari pemerintah kolonial untuk melakukan perjalanan budaya keliling Pulau Jawa. Menurutnya, perjalanan semacam ini bisa digunakan untuk mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Minat Raden Saleh demikian besar karena dia banyak bergaul dengan orang-orang Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Beberapa bulan kemudian Raden Saleh mulai melakukan pekerjaan ekskavasi untuk mencari fosil-fosil. Situs itu berlokasi di Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah. Raden Saleh mendapatkan sebuah tulang belakang sepanjang 18 kaki, lengkap dengan tulang-tulang rusuk. Sejumlah gigi dari binatang yang sama juga ditemukan. Dalam ekskavasi lanjutan, dia menemukan dua buah tulang belakang lagi dan dua buah tulang bulat. Selain itu dia menemukan bagian anterior tulang belakang dan bagian kepala.
Pada lokasi ekskavasi kedua di Kalisono, sekitar 11 kilometer dari lokasi pertama, dia menemukan bagian kepala, sejumlah tulang rusuk, tiga buah gigi, dan siput laut. Di lokasi ketiga yang sulit, Raden Saleh menemukan dua buah tulang sendi. Di lokasi keempat, Gunung Plawangan, fosil yang ditemukan berupa dua persendian dan satu gigi. Semua fosil temuan Raden Saleh dikirim ke Batavia. Di Jawa Timur, Raden Saleh menemukan sejumlah gigi geraham yang patah. Sejumlah benda paleontologis juga diperoleh dari sana.
Setelah pulang ke Batavia, Raden Saleh berhasil membawa pulang 38 manuskrip (kropyak). Artefak-artefak itu dia serahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Selain sejumlah fosil dan manuskrip, Raden Saleh juga membawa sejumlah besar koleksi arkeologi dari logam dan benda-benda etnografi. ”Jumlah koleksi benda logam yang berasal dari periode Hindu telah bertambah dengan pesat. Kontribusi terbesar berasal dari Raden Saleh,” demikian komentar para anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Karena sumbangannya dianggap luar biasa, maka Raden Saleh diangkat menjadi anggota kehormataan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dia adalah orang pribumi pertama yang mendapat kehormatan itu. Tahun-tahun selanjutnya Raden Saleh menghadiahkan sebuah tombak antik, dua buah senjata, dua buah prasasti logam.
Lembaga Pemerintah Jawatan Purbakala
Pada 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Sebagai Ketua Komisi diangkat JLA Brandes. Brandes adalah seorang ahli arkeologi bangsa Belanda. Ketika masih di Belanda, Brandes mempelajari bahasa Jawa Kuno dan prasasti. Karena itulah setibanya di Hindia Belanda, yang pertama digarap adalah prasasti-prasasti koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Brandes meninggal pada 1905 ketika masih menjabat Ketua Komisi.
Pada 1910 NJ Krom datang ke Hindia Belanda untuk menggantikan Brandes. Ia menyadari bahwa persoalan kepurbakalaan Hindia Belanda tidak dapat ditangani oleh sebuah komisi saja. Penanganannya harus dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang tetap dengan sebuah organisasi yang baik. Berkat perjuangannya yang gigih, pada 14 Juni 1913 berdirilah Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch Indie (Jawatan Purbakala).
Lembaga ini mempunyai tiga tugas pokok. Pertama, menyusun, mendaftar, dan mengawasi peninggalan purbakala di wilayah Hindia Belanda. Kedua, membuat rencana dan tindakan penyelamatan bangunan purbakala dari keruntuhan. Ketiga, melakukan pengukuran, penggambaran, dan penelitian lebih lanjut termasuk bidang epigrafi.
Selama kepemimpinan Krom, Jawatan Purbakala berhasil mendata kepurbakalaan di wilayah Jawa dan Sumatera. Ia berhasil pula menerbitkan berbagai hasil penelitian di bidang epigrafi dan candi. Pada 1915 Krom kembali ke Belanda.
Penggantinya adalah Dr. FDK Bosch. Ia menjabat Kepala Jawatan Purbakala pada 1916-1936. Bosch menyadari bahwa penelitian kepurbakalaan Indonesia harus lebih diperdalam. Penelitian tersebut diarahkan untuk mencari nilai bagi kebudayaan Indonesia yang akan datang.
Dasar pemikiran Bosch menjadi sumber dari adanya dua macam usaha. Pertama, penyelidikan yang mendalam terhadap peranan unsur-unsur Indonesia dalam pembangunan monumen-monumen yang begitu indah dan megah. Kedua, mengembalikan kemegahan dan keindahan bangunan-bangunan yang telah runtuh dengan jalan membina kembali, setelah rekonstruksinya di atas kertas dapat dipertanggungjawabkan.
Bosch juga beranggapan sepatutnya pengetahuan kepurbakalaan Indonesia diajarkan kepada anak-anak sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas. Pada 1926 ia menunjuk Dr. WF Stutterheim untuk mendirikan dan mengepalai sebuah AMS gaya baru di Solo dengan memasukkan Sejarah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia ke dalam kurikulum sekolah tersebut. Pada masa Bosch berhasil diterbitkan Monumenten Ordonnantie (1931), untuk mengatur pengawasan dan perlindungan terhadap peninggalan purbakala.
Pimpinan selanjutnya adalah Stutterheim (1936-1942). Pada masa itu tidak ada seorang ahli purbakala yang dapat mewakilinya dan menjadi calon penggantinya sebagai Kepala Jawatan Purbakala. Bahkan Jawatan Purbakala tidak mempunyai tenaga untuk ditugaskan di Sumatera.
Stutterheim memiliki pemikiran yang serupa dengan Bosch, yaitu membagi pengetahuan kepurbakalaan kepada masyarakat Indonesia. Untuk mengembangkan ilmu kepurbakalaan di Indonesia saat itu, Stutterheim menginginkan adanya tenaga ahli dalam bidang Islamologi, Sinologi, Keramologi, dan Sejarah Kesenian.
Pada masa itu berhasil dilakukan kegiatan rekonstruksi candi dan perbaikan bangunan-bangunan purbakala di Jawa, Sulawesi, dan NTT. Karena kemampuannya dalam bidang ilmiah, Stutterheim berhasil membawa Jawatan Purbakala sebagai lembaga ilmiah.
Kegiatan inventarisasi berhasil pula dilakukan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala di Jawa dan Bali. Penelitian sempat terhenti pada 1940 akibat keadaan yang semakin memanas antara pihak pemerintah kolonial Belanda dengan Indonesia.
Pemerintahan Hindia Belanda berakhir pada 8 Maret 1942 seiring dengan masuknya Jepang. Tenaga ahli di Oudheidkundige Dienst yang saat itu sebagian besar merupakan bangsa Belanda banyak ditawan pihak Jepang. Sebagian pegawai kembali ke negara asalnya. Stutterheim sempat ditawan, namun kemudian dibebaskan dan diberi tugas untuk memberikan laporan-laporan tentang pemeliharaan peninggalan purbakala. Pada September 1942 Stutterheim wafat.
Pada masa ini kantor Jawatan Purbakala di Jakarta diubah menjadi Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala. Hanya kantor cabang di Yogyakarta masih dapat melakukan kegiatan di Prambanan. Tenaga-tenaga Indonesia itu berhasil melakukan penelitian dan rekonstruksi terhadap bangunan-bangunan candi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka juga melakukan perbaikan terhadap makam Sunan Drajat di Tuban. Pada masa ini yang menjabat pimpinan Jawatan adalah R.M.Ng. Poerbatjaraka (1942-1945).
Hal yang pantas dicatat dari zaman pendudukan Jepang adalah pembongkaran bagian kaki Candi Borobudur secara sembarangan oleh seorang pembesar Jepang. Di balik kaki candi itu terdapat relief Karmawibhangga yang sangat populer karena menggambarkan perbuatan tabu.
Pada masa menjelang dan pasca kemerdekaan Indonesia tenaga kerja di Jawatan Purbakala berkurang banyak karena sebagian pergi berperang. Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala kini berada dibawah pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak Pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali Jawatan Purbakala yang sempat hilang saat masa pemerintahan Jepang.
Pemimpin sementara lembaga tersebut adalah Ir. VR van Romondt. Dia sadar kegiatan penelitian kepurbakalaan tidak dapat dilakukan apabila tidak didukung kegiatan inventaris dan dokumentasi benda atau bangunan peninggalan masa lalu. Untuk itu dia mendirikan kantor cabang di Makassar.
Pada 1947 Jawatan Purbakala diaktifkan kembali menggantikan Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala dengan nama Oudheidkundige Dienst Indonesiƫ. Pimpinannya adalah Prof. Dr. AJ Bernet-Kempers dengan Van Romondt sebagai kepala arsitek.
Pada masa ini kegiatan rekonstruksi dan penelitian banyak dilakukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Jawatan Purbakala Yogyakarta. Jawatan Purbakala Makassar pun melakukan perbaikan pada benteng dan makam-makam raja di wilayah Makassar dan Bali. Awal 1951 dilakukan peleburan jawatan-jawatan purbakala yang ada di beberapa wilayah Indonesia menjadi Dinas Purbakala.
Dinas Purbakala mulai menerapkan pembagian kerja sesuai dengan bidang keahlian dalam bidang kepurbakalaan. Kantor pusat pun mempunyai dua seksi bangunan cabang di Prambanan dan Gianyar. Adanya kantor pusat dan kantor cabang memudahkan kegiatan penelitian dan inventaris benda atau bangunan purbakala. Maka penemuan benda atau bangunan purbakala bertambah dengan pesat di tiap wilayah. Pada masa ini wilayah Sumatera memiliki perwakilan Jawatan Kebudayaan di Bukittinggi dan Medan.
Pada 1953 Prof. AJ Bernet Kempers meletakkan jabatan sebagai Kepala Dinas Purbakala. Ia kemudian memilih dua anak didiknya yang diasuhnya sejak 1948, yaitu R. Soekmono dan Satyawati Suleiman, untuk meneruskan perjuangannya di bidang kepurbakalaan. R. Soekmono dan Satyawati Suleiman adalah sarjana arkeologi pertama dan kedua bangsa Indonesia. R. Soekmono menjadi Kepala Dinas Purbakala, sementara Satyawati Suleiman diperbantukan kepada Departemen Luar Negeri.
Beberapa tahun berikutnya Dinas Purbakala telah memiliki sejumlah tenaga ahli bangsa Indonesia yang terbagi dalam beberapa spesialisasi, yaitu M. Boechari untuk bidang epigrafi (1958), R.P. Soejono untuk bidang prasejarah (1959), Uka Tjandrasasmita untuk bidang arkeologi Islam (1960), Soediman untuk bidang epigrafi (1962), dan Sri Soejatmi untuk bidang Hindu-Buddha (1963). Tenaga ahli bangsa Belanda mulai berkurang sejak 1954.
Pada 1964 nama Dinas Purbakala diganti menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Pimpinannya tetap R. Soekmono. LPPN dibagi menjadi enam wilayah kerja.
Selanjutnya pada 1974 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N) yang bertugas di bidang penelitian arkeologi dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang bertugas di bidang pembinaan dan pengembangan sejarah dan arkeologi. P4N dikepalai RP Soejono, sementara DSP dikepalai Uka Tjandrasasmita.
Dalam perjalanannya P4N dan DSP beberapa kali berganti nomenklatur. Sejak 2011 nama P4N menjadi Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), sementara DSP menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit PCBM). Pusarnas memiliki Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Arkeologi, sementara Dit PCBM memiliki Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya. Pusarnas bergerak di bidang penelitian dan Dit PCBM bergerak di bidang pelestarian.
sumber: https://ensiklopediarkeologi.wordpress.com/sejarah-arkeologi/
Arkeologi lahir dan berkembang di Eropa. Kata arkeologi berasal dari bahasa Yunani archaeos = purbakala dan logos = ilmu, didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia masa lampau melalui peninggalan-peninggalan budaya yang tersisa. Arkeologi bermula dari suatu kegemaran atau hobi untuk memuaskan perasaan di hati seseorang. Lama-kelamaan minat tadi berubah, menjadi tantangan akan kemampuan berpikir.
Benda-benda kuno banyak diminati oleh orang-orang tertentu di Eropa. Apalagi jika benda-benda itu dianggap menarik karena indah, aneh, atau langka. Terlebih yang berasal dari suatu zaman yang disebut-sebut kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Ketika itu benda-benda dari zaman Yunani kuno, Romawi kuno, atau awal dari perkembangan suku bangsa Eropa menjadi barang buruan mereka.
Pada abad ke-15, meskipun tidak merata, kemakmuran di Eropa sudah tinggi. Kemakmuran inilah yang memungkinkan kalangan tertentu mengembangkan kegemaran mengumpulkan benda-benda kuno. Karena ada barang kuno, maka perdagangan benda antik sangat menguntungkan. Mereka disebut antiquarian atau pengumpul benda antik.
Di kalangan tertentu, memiliki barang antik rupanya dianggap gengsi. Maka banyak rumah dibangun dengan arsitektur Yunani atau Romawi. Kalangan intelek pun selalu berdiskusi mengenai benda-benda yang dianggap berbobot. Ketika itu zaman klasik sangat diagung-agungkan oleh kaum intelektual Eropa.
Kesusastraan Yunani juga banyak diminati. Apalagi kesusastraan Yunani ini banyak terselamatkan dalam bentuk terjemahan bahasa Latin. Dengan demikian alam pikiran Yunani cukup dikenal luas oleh cendekiawan Eropa pada masa itu. Demikian pula dengan sejarah Yunani.
Minat dan kecenderungan orang akan hal ini menciptakan iklim yang subur untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Italia, khususnya di pusat perdagangan Venesia dan Genoa. Lingkungan seperti ini kemudian mendorong alam pikiran bangsa Eropa untuk bergerak maju lagi. Maka kemudian timbul Renaissans. Filsafat dan matematika memberi kerangka berpikir untuk lebih mengenal dan mengerti alam lingkungan manusia.
Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Eropa. Berbagai ilmu kemudian berkembang dengan pesat. Di lain pihak, para pedagang Venesia dan Genoa mempunyai naluri bisnis. Mereka pergi ke berbagai tempat, termasuk ke negara-negara non-Eropa. Dari negara-negara yang mereka kunjungi, mereka membawa berbagai kisah dan benda. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak terdapat kebudayaan lain.
Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan kalangan tertentu masih mengagungkan kesusastraan Yunani. Selanjutnya minat yang mula-mula terpusat pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang berada dan terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut kemudian disimpan dalam sebuah lemari yang disebut Cabinet of Curiosity. Pada awalnya hanya kaum tertentu yang dapat menikmati benda-benda tersebut, seperti kerabat pemilik barang antik atau para elit. Pada perkembangan selanjutnya, barang-barang tersebut dipamerkan untuk khalayak umum. Dari situlah muncul benih-benih museum.
Museum sederhana ini didukung dan dikelola oleh perkumpulan orang terpelajar. Secara berkala mereka bertemu untuk mendiskusikan benda-benda tersebut. Mereka selalu menghubungkannya dengan kisah-kisah dari kesusastraan Yunani dan Romawi.
Sumber Kitab Injil
Beberapa cendekiawan berusaha menyusun kisah-kisah tentang masa lampau itu, meskipun uraiannya masih terbatas. Keadaan yang tidak disebut dalam kesusastraan Yunani dan Romawi, tidak digarap. Baru kemudian mereka menggunakan sumber lain, kitab Injil.
Pada zaman ini pengumpul barang kuno yang melayani kebutuhan para kolektor memang amat berperan. Ini karena mereka sering bepergian ke luar negeri untuk mencari barang-barang yang menarik. Di luar itu sekelompok cendekiawan di masing-masing negara, berupaya memperluas pengetahuan mengenai bangsanya sendiri.
Namun karena sumber pengetahuan mereka masih terbatas, kesimpulannya masih sangat samar-samar dan mirip dongeng. Bahkan mereka melakukan ekskavasi, bukan dengan tujuan dalam arti ilmiah, melainkan sekadar memperoleh benda-benda untuk koleksi.
Di dalam kesusastraan Yunani sesungguhnya ada petunjuk dan catatan yang dapat menjadi dasar yang luas akan masa lampau. Namun catatan-catatan itu sangat singkat, tidak tampak penting, dan tersebar pada berbagai sumber. Karena itu sumber-sumber tersebut banyak diabaikan.
Dalam catatan sejarah orang Athena abad ke-5 disinggung adanya bangsa dan kebudayaan di tempat tersebut sebelum zaman mereka. Ada juga catatan perjalanan orang Yunani yang mengisahkan tentang bangsa lain yang tingkat peradabannya dianggap lebih rendah. Orang Yunani sendiri rupa-rupanya juga tidak melihat dari perjalanan mereka adanya kenyataan bahwa kebudayaan itu tumbuh dari sederhana menjadi lebih maju.
“Gigi Halilintar” dan Fosil
Kesadaran bahwa kebudayaan tumbuh melalui berbagai tahap baru ada di Eropa pada abad ke-18. Saat itu muncul pula ilmu-ilmu lain untuk membantu pengertian akan masa lampau.
Arkeologi lahir bersamaan di beberapa negara Eropa. Pada mulanya masing-masing ilmu arkeologi tidak saling berhubungan. Beberapa peristiwa besar tercatat di Eropa sejak berkembangnya ilmu arkeologi. Di Prancis, misalnya, sejak lama ditemukan kepingan-kepingan batu dengan bentuk khusus di dalam tanah dan permukaan tanah. Orang awam menyebutnya ’gigi halilintar’. Mereka menghubungkannya dengan makhluk halus.
Pada lapisan yang sama ditemukan pula tulang-tulang yang telah membatu (fosil). Karena belum diketahui metode untuk menghitung umur lapisan tanah, maka umur temuan itu tidak dapat diduga. Umur lapisan tanah baru diketahui setelah muncul ilmu geologi modern.
Pada pertengahan abad ke-19 muncul seorang ahli geologi Inggris Sir Charles Lyell yang mengajukan pendapat tentang temuan itu secara ilmiah. Dia membantah paham yang mengatakan bahwa kulit bumi terbentuk karena air bah sebagaimana kitab Injil. Sebaliknya dia mengajukan paham bahwa pembentukan kulit bumi terjadi karena pelapukan. Terjadinya lapisan-lapisan itu disebabkan perubahan daratan, lautan, dan aliran sungai.
Pada mulanya ilmu arkeologi belum dapat memanfaatkan sumbangan ilmu geologi. Di pihak lain temuan-temuan batu dengan bentuk khusus mulai menarik perhatian. Orang mulai yakin bahwa batu itu adalah alat yang dibuat oleh manusia.
Sistem Tiga Zaman
Setelah menerima teori Lyell, maka orang memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa manusia sudah ada di zaman yang jauh di masa lampau. Zaman itu telah tertimbun di dalam tanah dan membentuk lapisan tanah tertentu di lapisan bumi. Jika umur lapisan itu dapat dihitung, maka zaman ketika manusia purbakala itu hidup dapat diketahui.
Konsepsi-konsepsi yang timbul di Eropa itu mula-mula mengambil dasar yang sederhana. Tujuan utamanya memberikan arti yang kultur-historis kepada benda-benda arkeologi. Data arkeologis yang terjangkau, kemudian dipelajari dan diolah sedemikian rupa sehingga memperoleh model yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sejak itu banyak pakar berusaha menciptakan teori-teori arkeologi. Salah satu teori yang dikenal luas hingga kini adalah teori ”Sistem Tiga Zaman’ yang diajukan Christian Jurgensen Thomsen dari Denmark.
Teori ini berprinsip di masa lampau telah ada perkembangan waktu berdasarkan urutan waktu tertentu. Uraian ini dilihat dari bahan-bahan utama yang digunakan untuk membuat alat-alat yang dipakai manusia masa lampau demi melangsungkan hidupnya. Maka lahirlah istilah zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi. Zaman batu adalah zaman yang tertua. Yang lebih muda zaman perunggu, sementara yang paling muda zaman besi.
Sistem yang digunakan Thomsen merupakan sumbangan yang utama bagi ilmu arkeologi. Sistem ini menjadi alat untuk mengklasifikasikan benda-benda arkeologi. Sistem tiga zaman juga dianggap sebuah model teknologi karena memperhatikan perkembangan teknik pembuatan alat-alat kerja manusia.
Kolektor dari Eropa
Pada abad ke-17, jauh sebelum ilmu arkeologi berkembang dan benda-benda arkeologi menjadi objek penelitian, pengumpulan benda-benda arkeologi banyak dilakukan para kolektor dari Eropa. Benda-benda yang dianggap unik, mereka bawa dan simpan di suatu tempat. Ketika itu G.E. Rumphius (1628-1702), seorang naturalis Jerman, tidak hanya tertarik pada dunia flora dan fauna di Nusantara. Dia pun mengumpulkan berbagai benda prasejarah. Rumphius sering menghadiahkan benda-benda prasejarah kepada para pejabat kolonial. Dia pun banyak menulis tentang benda-benda prasejarah yang dikoleksinya. Sayang, catatan Rumphius kurang lengkap sehingga menyulitkan pengidentifikasian asal-usul benda.
Rumphius hanya salah seorang dari sekian banyak peminat kebudayaan Nusantara. Pada awalnya kegiatan mengumpulkan benda-benda unik dan menarik itu bersifat individu. Barulah kemudian kegiatan tersebut bersifat kelompok, sehingga penanganan benda menjadi lebih terarah. Upaya para ilmuwan dan peminat seni dimulai dengan mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional) pada 1778. Lembaga inilah yang memelopori penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, penggalian, dan pemugaran terhadap bangunan dan artefak kuno. Kegiatan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen didukung oleh lembaga swasta yang didirikan pada 1885, yaitu Archaeologische Vereeniging pimpinan Ir. JW Ijzerman.
Raden Saleh
Banyak orang lebih mengenal Raden Saleh sebagai pelukis terkenal. Namun sesungguhnya Raden Saleh juga bergerak di bidang ilmiah. Ketika pada 1851 di Delft (Belanda), berdiri KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde = Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Ilmu Bangsa-bangsa), Raden Saleh menjadi anggota pertama dan anggota donor.
Pada 1865 Raden Saleh mengajukan permohonan izin dan dukungan dari pemerintah kolonial untuk melakukan perjalanan budaya keliling Pulau Jawa. Menurutnya, perjalanan semacam ini bisa digunakan untuk mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Minat Raden Saleh demikian besar karena dia banyak bergaul dengan orang-orang Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Beberapa bulan kemudian Raden Saleh mulai melakukan pekerjaan ekskavasi untuk mencari fosil-fosil. Situs itu berlokasi di Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah. Raden Saleh mendapatkan sebuah tulang belakang sepanjang 18 kaki, lengkap dengan tulang-tulang rusuk. Sejumlah gigi dari binatang yang sama juga ditemukan. Dalam ekskavasi lanjutan, dia menemukan dua buah tulang belakang lagi dan dua buah tulang bulat. Selain itu dia menemukan bagian anterior tulang belakang dan bagian kepala.
Pada lokasi ekskavasi kedua di Kalisono, sekitar 11 kilometer dari lokasi pertama, dia menemukan bagian kepala, sejumlah tulang rusuk, tiga buah gigi, dan siput laut. Di lokasi ketiga yang sulit, Raden Saleh menemukan dua buah tulang sendi. Di lokasi keempat, Gunung Plawangan, fosil yang ditemukan berupa dua persendian dan satu gigi. Semua fosil temuan Raden Saleh dikirim ke Batavia. Di Jawa Timur, Raden Saleh menemukan sejumlah gigi geraham yang patah. Sejumlah benda paleontologis juga diperoleh dari sana.
Setelah pulang ke Batavia, Raden Saleh berhasil membawa pulang 38 manuskrip (kropyak). Artefak-artefak itu dia serahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Selain sejumlah fosil dan manuskrip, Raden Saleh juga membawa sejumlah besar koleksi arkeologi dari logam dan benda-benda etnografi. ”Jumlah koleksi benda logam yang berasal dari periode Hindu telah bertambah dengan pesat. Kontribusi terbesar berasal dari Raden Saleh,” demikian komentar para anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Karena sumbangannya dianggap luar biasa, maka Raden Saleh diangkat menjadi anggota kehormataan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dia adalah orang pribumi pertama yang mendapat kehormatan itu. Tahun-tahun selanjutnya Raden Saleh menghadiahkan sebuah tombak antik, dua buah senjata, dua buah prasasti logam.
Lembaga Pemerintah Jawatan Purbakala
Pada 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Sebagai Ketua Komisi diangkat JLA Brandes. Brandes adalah seorang ahli arkeologi bangsa Belanda. Ketika masih di Belanda, Brandes mempelajari bahasa Jawa Kuno dan prasasti. Karena itulah setibanya di Hindia Belanda, yang pertama digarap adalah prasasti-prasasti koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Brandes meninggal pada 1905 ketika masih menjabat Ketua Komisi.
Pada 1910 NJ Krom datang ke Hindia Belanda untuk menggantikan Brandes. Ia menyadari bahwa persoalan kepurbakalaan Hindia Belanda tidak dapat ditangani oleh sebuah komisi saja. Penanganannya harus dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang tetap dengan sebuah organisasi yang baik. Berkat perjuangannya yang gigih, pada 14 Juni 1913 berdirilah Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch Indie (Jawatan Purbakala).
Lembaga ini mempunyai tiga tugas pokok. Pertama, menyusun, mendaftar, dan mengawasi peninggalan purbakala di wilayah Hindia Belanda. Kedua, membuat rencana dan tindakan penyelamatan bangunan purbakala dari keruntuhan. Ketiga, melakukan pengukuran, penggambaran, dan penelitian lebih lanjut termasuk bidang epigrafi.
Selama kepemimpinan Krom, Jawatan Purbakala berhasil mendata kepurbakalaan di wilayah Jawa dan Sumatera. Ia berhasil pula menerbitkan berbagai hasil penelitian di bidang epigrafi dan candi. Pada 1915 Krom kembali ke Belanda.
Penggantinya adalah Dr. FDK Bosch. Ia menjabat Kepala Jawatan Purbakala pada 1916-1936. Bosch menyadari bahwa penelitian kepurbakalaan Indonesia harus lebih diperdalam. Penelitian tersebut diarahkan untuk mencari nilai bagi kebudayaan Indonesia yang akan datang.
Dasar pemikiran Bosch menjadi sumber dari adanya dua macam usaha. Pertama, penyelidikan yang mendalam terhadap peranan unsur-unsur Indonesia dalam pembangunan monumen-monumen yang begitu indah dan megah. Kedua, mengembalikan kemegahan dan keindahan bangunan-bangunan yang telah runtuh dengan jalan membina kembali, setelah rekonstruksinya di atas kertas dapat dipertanggungjawabkan.
Bosch juga beranggapan sepatutnya pengetahuan kepurbakalaan Indonesia diajarkan kepada anak-anak sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas. Pada 1926 ia menunjuk Dr. WF Stutterheim untuk mendirikan dan mengepalai sebuah AMS gaya baru di Solo dengan memasukkan Sejarah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia ke dalam kurikulum sekolah tersebut. Pada masa Bosch berhasil diterbitkan Monumenten Ordonnantie (1931), untuk mengatur pengawasan dan perlindungan terhadap peninggalan purbakala.
Pimpinan selanjutnya adalah Stutterheim (1936-1942). Pada masa itu tidak ada seorang ahli purbakala yang dapat mewakilinya dan menjadi calon penggantinya sebagai Kepala Jawatan Purbakala. Bahkan Jawatan Purbakala tidak mempunyai tenaga untuk ditugaskan di Sumatera.
Stutterheim memiliki pemikiran yang serupa dengan Bosch, yaitu membagi pengetahuan kepurbakalaan kepada masyarakat Indonesia. Untuk mengembangkan ilmu kepurbakalaan di Indonesia saat itu, Stutterheim menginginkan adanya tenaga ahli dalam bidang Islamologi, Sinologi, Keramologi, dan Sejarah Kesenian.
Pada masa itu berhasil dilakukan kegiatan rekonstruksi candi dan perbaikan bangunan-bangunan purbakala di Jawa, Sulawesi, dan NTT. Karena kemampuannya dalam bidang ilmiah, Stutterheim berhasil membawa Jawatan Purbakala sebagai lembaga ilmiah.
Kegiatan inventarisasi berhasil pula dilakukan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala di Jawa dan Bali. Penelitian sempat terhenti pada 1940 akibat keadaan yang semakin memanas antara pihak pemerintah kolonial Belanda dengan Indonesia.
Pemerintahan Hindia Belanda berakhir pada 8 Maret 1942 seiring dengan masuknya Jepang. Tenaga ahli di Oudheidkundige Dienst yang saat itu sebagian besar merupakan bangsa Belanda banyak ditawan pihak Jepang. Sebagian pegawai kembali ke negara asalnya. Stutterheim sempat ditawan, namun kemudian dibebaskan dan diberi tugas untuk memberikan laporan-laporan tentang pemeliharaan peninggalan purbakala. Pada September 1942 Stutterheim wafat.
Pada masa ini kantor Jawatan Purbakala di Jakarta diubah menjadi Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala. Hanya kantor cabang di Yogyakarta masih dapat melakukan kegiatan di Prambanan. Tenaga-tenaga Indonesia itu berhasil melakukan penelitian dan rekonstruksi terhadap bangunan-bangunan candi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka juga melakukan perbaikan terhadap makam Sunan Drajat di Tuban. Pada masa ini yang menjabat pimpinan Jawatan adalah R.M.Ng. Poerbatjaraka (1942-1945).
Hal yang pantas dicatat dari zaman pendudukan Jepang adalah pembongkaran bagian kaki Candi Borobudur secara sembarangan oleh seorang pembesar Jepang. Di balik kaki candi itu terdapat relief Karmawibhangga yang sangat populer karena menggambarkan perbuatan tabu.
Pada masa menjelang dan pasca kemerdekaan Indonesia tenaga kerja di Jawatan Purbakala berkurang banyak karena sebagian pergi berperang. Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala kini berada dibawah pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak Pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali Jawatan Purbakala yang sempat hilang saat masa pemerintahan Jepang.
Pemimpin sementara lembaga tersebut adalah Ir. VR van Romondt. Dia sadar kegiatan penelitian kepurbakalaan tidak dapat dilakukan apabila tidak didukung kegiatan inventaris dan dokumentasi benda atau bangunan peninggalan masa lalu. Untuk itu dia mendirikan kantor cabang di Makassar.
Pada 1947 Jawatan Purbakala diaktifkan kembali menggantikan Jawatan Urusan Barang-barang Purbakala dengan nama Oudheidkundige Dienst Indonesiƫ. Pimpinannya adalah Prof. Dr. AJ Bernet-Kempers dengan Van Romondt sebagai kepala arsitek.
Pada masa ini kegiatan rekonstruksi dan penelitian banyak dilakukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Jawatan Purbakala Yogyakarta. Jawatan Purbakala Makassar pun melakukan perbaikan pada benteng dan makam-makam raja di wilayah Makassar dan Bali. Awal 1951 dilakukan peleburan jawatan-jawatan purbakala yang ada di beberapa wilayah Indonesia menjadi Dinas Purbakala.
Dinas Purbakala mulai menerapkan pembagian kerja sesuai dengan bidang keahlian dalam bidang kepurbakalaan. Kantor pusat pun mempunyai dua seksi bangunan cabang di Prambanan dan Gianyar. Adanya kantor pusat dan kantor cabang memudahkan kegiatan penelitian dan inventaris benda atau bangunan purbakala. Maka penemuan benda atau bangunan purbakala bertambah dengan pesat di tiap wilayah. Pada masa ini wilayah Sumatera memiliki perwakilan Jawatan Kebudayaan di Bukittinggi dan Medan.
Pada 1953 Prof. AJ Bernet Kempers meletakkan jabatan sebagai Kepala Dinas Purbakala. Ia kemudian memilih dua anak didiknya yang diasuhnya sejak 1948, yaitu R. Soekmono dan Satyawati Suleiman, untuk meneruskan perjuangannya di bidang kepurbakalaan. R. Soekmono dan Satyawati Suleiman adalah sarjana arkeologi pertama dan kedua bangsa Indonesia. R. Soekmono menjadi Kepala Dinas Purbakala, sementara Satyawati Suleiman diperbantukan kepada Departemen Luar Negeri.
Beberapa tahun berikutnya Dinas Purbakala telah memiliki sejumlah tenaga ahli bangsa Indonesia yang terbagi dalam beberapa spesialisasi, yaitu M. Boechari untuk bidang epigrafi (1958), R.P. Soejono untuk bidang prasejarah (1959), Uka Tjandrasasmita untuk bidang arkeologi Islam (1960), Soediman untuk bidang epigrafi (1962), dan Sri Soejatmi untuk bidang Hindu-Buddha (1963). Tenaga ahli bangsa Belanda mulai berkurang sejak 1954.
Pada 1964 nama Dinas Purbakala diganti menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Pimpinannya tetap R. Soekmono. LPPN dibagi menjadi enam wilayah kerja.
Selanjutnya pada 1974 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N) yang bertugas di bidang penelitian arkeologi dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang bertugas di bidang pembinaan dan pengembangan sejarah dan arkeologi. P4N dikepalai RP Soejono, sementara DSP dikepalai Uka Tjandrasasmita.
Dalam perjalanannya P4N dan DSP beberapa kali berganti nomenklatur. Sejak 2011 nama P4N menjadi Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), sementara DSP menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit PCBM). Pusarnas memiliki Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Arkeologi, sementara Dit PCBM memiliki Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya. Pusarnas bergerak di bidang penelitian dan Dit PCBM bergerak di bidang pelestarian.
sumber: https://ensiklopediarkeologi.wordpress.com/sejarah-arkeologi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar